Menjerat Untung atau Dijerat Utang

di sadur dari koran Jawa Pos edisi Minggu, 04 Juli 2010

Menjerat Untung atau Dijerat Utang
Oleh: ajar aedi

Membaca laporan Jawa Pos (13/6), yakni Rosebank, Kawasan Lampu Merah Johannesburg pada Malam Hari, yang memaparkan sisi lain Piala Dunia Afrika Selatan (Afsel), muncul pertanyaan tentang pengelolaan Piala Dunia. Padahal, pada paro 2008 para pemikir lintas disiplin ilmu Afsel berkumpul di Kota Stellenbosch. Mereka menyelenggarakan simposium internasional Piala Dunia.

Harapannya, Piala Dunia mendukung pengembangan sosial dan ekonomi Afsel. Simposium di kota yang didirikan pada 1679 oleh Gubernur Simon van der Stel itu menghasilkan risalah An African Football World Cup at Last yang berisi perdebatan dan rekomendasi. Berkaca pada Piala Dunia sebelumnya, beragam strategi dilakukan panitia lokal, tak terkecuali dalam urusan syahwat.

Di Afsel, Rosebank jadi salah satu ikon. Tapi, tingginya penyebar­an HIV/AIDS di Afsel membuat kebijakan untuk urusan yang satu itu butuh banyak pertimbangan.

Hiruk pikuk kehebohan itu bermula dari voting 24 anggota executive committee FIFA (federasi sepak bola dunia) pada 15 Mei 2004 di Zurich, Swiss. Para tuan di komite eksekutif itu mengeliminasi Maroko, Mesir, Libya, serta Tunisia, dan memilih Afsel sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010. Saat itu mungkin banyak orang terhenyak atas keputusan kontroversial tersebut.

Bagaimana tidak, di negeri Mandela itu, sepak bola bukan olahraga terpopuler, tapi rugby dan kriket. Liga utama Afsel (South Africa Castle Premiership) hanya disesaki 16 kesebelasan. Penonton di tiap stadion rata-rata di bawah angka 5.000 orang. Tak ada yang menonton sambil meniup vuvuzela seperti saat ini. Dulu stasiun televisi lokal pun menyiarkan sepak bola ala kadarnya.

Ada yang yakin, negara dengan sembilan provinsi itu dipilih FIFA sebagai penghargaan atas pencapaian demokrasi dan kesetaraan yang menginspirasi dunia. Sebelumnya, Afsel yang pernah menjadi rebutan Belanda dan Inggris karena potensi berliannya mengalami diskriminasi rasial yang panjang.

Sejak 1996, SAFA (Persatuan Sepak Bola Afrika Selatan) bergerilya merintis kampanye tuan rumah Piala Dunia 2006. Bahkan, Nelson Rolihlahla Mandela yang saat itu menjadi presiden Afsel paling po­puler di seantero dunia turut berkampanye. Hasilnya? Mereka terdepak karena kalah voting satu angka dari Jerman.

Yang pasti, banyak negara yang ngebet jadi tuan rumah karena berharap untung menggunung. Untuk Piala Dunia kali ini, konsultan Grant Thornton (2007) memprediksi akan tersedia lebih dari 159 ribu pekerjaan, produk domestik bruto menembus 51,1 miliar rand (sekitar Rp 61,3 triliun), serta tambahan pendapatan pajak sekitar 7,2 miliar rand (sekitar Rp 8,6 triliun). Belum termasuk efek ekonomi berantai dari even raksasa tersebut.

Kemewahan itu ditambah bonus kehadiran para superstar dunia persepakbolaan. Konsultan ekonomi Frontier Economics membanderol kesebelasan Spanyol dengan 303 juta euro. Sebab, ada Andres Iniesta dan Fernando Torres yang dihargai 44 juta euro dan 43 juta euro.

Di baris kedua ada pasukan Tango -julukan Argentina- senilai 293 juta euro. Separo nilai itu menempel kepada Lionel Messi yang berharga 140 juta euro. Lalu, Gonzalo Higuain yang berbanderol 53 juta euro. Harga seluruh pemain yang tampil di sepuluh stadion itu lebih dari 2 triliun euro atau sekitar USD 2,5 triliun.

Melengkapi deretan angka fantastis itu, Badan Statistik Afsel merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun ini naik 4,6 persen karena pembangunan infrastruktur. Selain itu, kesebelasan Afsel terlekati fasilitas langsung bisa bertanding di putaran final tanpa susah payah ikut prakualifikasi.

Bila digoda deretan angka menggiurkan dan fasilitas wild card itu, wajar bila Ketua Umum PSSI Nurdin Halid ngotot Indonesia ikut perebutan tuan rumah Piala Dunia. Tapi, apakah semua asumsi itu benar?

Menjadi tuan rumah Piala Dunia atau perhelatan olahraga akbar butuh modal besar. Lembaga olahraga internasional hanya membiayai perhelatan olahraga semata. Sisanya urusan tuan rumah. Mulai infrastruktur, fasilitas, akomodasi, media, hingga pendukung lain. Jika dulu hanya membangun jalan, kini urusan pembenahan jaringan transportasi umum pun tak boleh dilewatkan (Essex dan Chalkley, 2004).

Penghitungan awal selalu tak cukup menutupi kebutuhan sebenarnya. Pengeluaran pemerintah Afsel untuk infrastruktur membengkak dari prediksi di 2007 yang hanya USD 2,27 juta jadi USD 6 miliar (sekitar Rp 55,5 triliun). Uang itu merupakan patungan pemerintah pusat, provinsi, serta kota penyelenggara yang digunakan untuk membangun lima stadion baru, bandara, jalan raya, serta menyulap lima stadion lainnya.

Guna membiayai seluruh kegiatan, konon pengeluarannya menembus Rp 78,78 triliun. Afsel mengulang kesalahan beberapa Olimpiade terdahulu. Olimpiade Athena yang awalnya butuh USD 1,6 triliun akhirnya membengkak jadi USD 16 triliun. Beijing yang menganggarkan USD 1,6 triliun akhirnya membubung jadi USD 40 triliun (Sports Business Daily, 2009).

Inilah yang disebut potensi ketidakpastian dan biaya tinggi atas penyelenggaraan pesta olahraga besar, termasuk Piala Dunia. Bahkan, Afsel sudah merasakan kegalauan minimnya efek ekonomi itu. Awalnya, diperkirakan akan ada 483 ribu penonton yang datang ke stadion, tapi terpangkas hanya 373 ribu orang.

Simposium internasional di Kota Stellenbosch, kota permukiman Eropa terbesar kedua di Afsel itu, mencatat ketakutan tersebut. Menurut para ahli, walau estimasi ekonomi menarik, selama ini minim perbandingan bukti keberhasilannya. Banyak perhelatan akbar olahraga yang berakhir dengan efek ekonomi mengecewakan. Juga, efek negatif pinggiran seperti pengelolaan fasilitas sesudah Piala Dunia.

Para ahli itu tidak salah. Olimpiade Montreal 1976 menghasilkan lilitan utang USD 2,8 juta dan butuh tiga dekade untuk melunasinya (Burton, 2003). Olimpiade Barcelona menyisakan utang USD 4 juta ke pemerintah Spanyol serta USD 2,1 juta ke pemerintahan provinsi dan kota. Komite Olimpiade Nagoya surplus USD 28 juta tapi beberapa unit pemerintahan Jepang berutang USD 11 juta (Burton and O'Reilly, 2009).

Pascatragedi WTC 11 September 2001, faktor keamanan menjadi biaya yang amat mahal. Di Olimpiade Beijing 2008, sebanyak 80 ribu personel keamanan diterjunkan. Di Olimpiade Vancouver 2010, biaya keamanan dari USD 165 juta naik hingga USD 1 miliar. Itu masih ditambah biaya besar untuk merawat stadion baru yang jarang digunakan.

Di Sydney, Australia, jutaan dolar dikeluarkan untuk mengelola stadion Olimpiade berkapasitas 90 ribu orang itu. Di dalam negeri setali tiga uang. Fasilitas peninggalan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Kalimantan Timur jadi bulan-bulanan media masa karena dianggap telantar.

''Jika ada gambaran sebuah negara akan dapat keuntungan signifikan yang mampu jadi pendorong ekonomi tuan rumah, kadang kenyataanya bisa lain,'' ungkap Rob Baade, penasihat kebijakan pada isu ekonomi dari Heartland Institute, kepada ABC News.

Tentu saja, perhelatan akbar Piala Dunia menghadirkan banyak wajah. Dari antusiasme kolektif, dukungan, hingga rasa memiliki, tapi juga harapan yang tak terwujud. Pasukan tuan rumah, Bafana Bafana, tumbang di babak penyisihan. Bila setelah Piala Dunia yang tersisa hanya utang yang menjerat, sepertinya, panitia lokal sudah menemukan jawaban yang pas.

Menurut Dr D. Jordan, CEO panitia lokal dalam simposium internasional itu, esensi tuan rumah Piala Dunia bukan pertumbuhan ekonomi. ''Branding Afsel yang siap menjadi pemain penting dalam percaturan dunia,'' katanya.

Sebenarnya, siapa yang untung? Untuk yang satu ini, Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke punya jawaban. Kepada wartawan, dia membeberkan keuntungan FIFA naik 50 persen dan membukukan angka Rp 22 triliun.

Kebanyakan bukti dibangun oleh kota-kota penyelenggara sebagai pembenar atas besarnya pengeluaran kegiatan itu dengan penderitaan utang di belakangnya. Sayang, banyak pemimpin politik terbutakan mimpi palsu. Mereka terus mengejar undian tuan rumah dengan menyorongkan angka di luar nalar dan berharap agar pesta itu bisa mengobati persoalan ekonomi mereka.

Walau banyak bukti, niat untung yang dikejar, malah buntung yang disandang. Semoga, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyo me­nolak gagasan Nurdin Halid dalam pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia bukan semata karena buruknya pengelola­an sepak bola Indonesia dan ambruknya prestasi tim nasional kita. Tapi, karena tak rela utang Indonesia bertambah. (*)

Ajar Aedi, spesialis hubungan publik dan kebijakan, alumnus Fakultas Filsafat UGM dan Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan UI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Instal Driver Printer/Scanner Epson L360 di Linux Debian 9 Stretch